Biografi Abul Aliyah Ar-Riyahi

A. Biografi Abul Aliyah Ar-Riyahi
Nama lengkapnya adalah Rafi’ bin Mahram dan panggilannya Abul Aliyah. Ia adalah bekas hamba milik seorang wanita Bani Riyah yang kemudian menjadi tabi’in yang sangat teliti dari penduduk Basrah, dan terkenal dengan ahli fikih dan Tafsir. Ia meninggal dunia pada tahun 93 H. Dalam usia delapan puluh tahun lebih.[1]
Abul Aliyah Ar-Riyahi dilahirkan pada zaman Nabi Saw. Namun tidak pernah bertemu beliau Saw. Ia menginjak usia remaja dan masuk Islam pada masa khalifah Abu Bakar Ash-Shidiq radhiyallahu’anhu. Hal itu karena status dirinya sebagai seorang budak milik seorang wanita Bani Tamim dan baru dimerdekakan pada zaman khalifah Abu Bakar Ash-Shidiq radhiyallahu’anhu. Setelah dimerdekakan oleh tuannya, ia langsung mempergunakan waktunya untuk menimba ilmu dari para sahabat senior, tekun beribadah kepada Allah dan menyertai pasukan jihad ke negeri Transoxiana.[2]
B. Perjalan hidup Abul Aliyah Ar-Riyahi
Abul Aliyah Ar-Riyahi mulai menimba ilmu setelah dimerdekakan oleh tuannya. Ia pun menimba ilmu dari para sahabat senior. Selain itu, setelah dibebaskan, ia juga tekun beribadah kepada Allah dan menyertai pasukan jihad ke negeri Transoxiana. Ia juga belajar hadist kepada para ulama sahabat senior; Umar bin Khattab, Ali bin Abi Thalib, Ubay bin Ka’ab, Abu Dzar Al-Ghifary, Abdullah bin Mas’ud, Zaid bin Tsabit, Aisyah ummul mukminin, Abu Musa Al-Asy’ari, Abu Ayyub Al-Anshari, Abdullah bin Abbas dan lain-lain radhiyallahu’anhum.
Selain itu, ia juga hafal Al-Qur’an dan menyetorkan hafalannya kepada ulama qira’ah sahabat; Umar bin Khattab, Ubay bin Ka’ab, Zaid bin Tsabit dan Abdullah bin Abbas radhiyallah’anhu. Ini dibuktikan karena Ia pernah melihat dan menjumpai Abu Bakar dan membacakan Al-Quran di hadapan Ubay bin Ka’ab dan sahabat lainnya serta mendengar langsung dari Umar, Ibnu Mas’ud, Ali Aisyah, dan sahabat-sahabat lain. Diriwayatkan dari Abul Aliyah bahwasanya ia berkata, Saya membaca Al-Quran setelah dua tahun kewafatan Nabi. Sejak kecil ia sudah cinta pada ilmu, tekun menuntutnya sehingga ia mahir dalam segala bidang khususya tafsir.[3]
Dengan ketekunan belajarnya kepada para ulama senior di kalangan sahabat, tidak heran apabila Abul Aliyah Ar-Riyahi segera menjadi sosok ulama besar tabi’in di bidang tafsir, hadist, dan fiqh. Meski telah menjadi seorang ulama besar pada zaman sahabat dan tabi’in, Abu Aliyah adalah seorang yang rendah hati, jujur, sedikit bicara, tidak suka popularitas dan tidak ingin menonjolkan dirinya.[4]
C. Pendapat yang Disampaikan oleh Abul Aliyah Ar-Riyahi
            Pertama tentang pentingnya sedikit bicara dan kejujuran, Abul Aliyah menuturkan kepada orang-orang yang hidup di zamanya, “Kalian melakukan lebih banyak shalat dan puasa dibanding orang-orang sebelum kalian, namun ucapan dusta telah menjalar ke lidah-lidah kalian.”
            Kedua tentang pentingnya keikhlasan dan tidak menonjolkan diri, Abul Aliyah menuturkan,”Aku telah belajar menulis dan Al-Qur’an namun keluargaku tidak mengetahuinya sama sekali dan memang di bajuku tidak pernah ada noda setetes tinta sekalipun.”
            Ketiga tentang cara belajar dan menghafal Al-Qur’an, Abul Aliyah menuturkan,”Pelajarilah Al-Qur”an lima ayat lima ayat (sedikit demi sedikit) kepada Rasulullah Saw. Abu Aliyah juga dikenal memegang kuat sunnah dan menjauhi bid’ah.
            Imam Abu Bakar bin Abu Daud berkata:
“Sepeninggal generasi sahabat, tidak ada yang lebih paham tentang al-Qur’an melebihi Abul Aliyah, kemudian Sa’id bin Jubair.” (Siyar A’lam An-Nubala’, 4/208).
            Diantara nasehat emasnya, imam Abul Aliyah mengatakan:
1. “Sesungguhnya Allah telah menetapkan bagi diri-Nya sndiri bahwa barang siapa beriman kepada Allah niscaya Allah akan memberinya petunjuk. Bukti atas hal itu dalam kitab Allah dalam firmanya, yang artinya: ‘Dan barangsiapa beriman kepada Allah, niscaya Allah akan memberikan petunjuk kepada hatinya.” (QS. At-Taghabun (65):3)
2. Sesungguhnya Allah telah menetapkan baginya dirinya sendiri bahwa barangsiapa berserah diri kepada Allah niscaya Allah akan mencukupinya. Buktinya itu dalam kitap Allah adalah firmannya, yang artinya: “Dan barangsiapa berserah diri kepada Allah(setelah berusaha), niscaya Allah akan mencukupinya,” (QS. AthThalaq (65):3)[5]



[1] Ash-Shaabuuniy, Muhammad Ali. 2008. Studi Ilmu Al-Qur’an. Bandung:Pustaka Setia. hlm 347
[2] Shiddiq. 2013. Abu ‘aliyah. Shiddiqsepanjang.blogspot.com. Diperoleh 27 Maret 2018
[3] Ash-Shaabuuniy, Muhammad Ali. 2008. Studi Ilmu Al-Qur’an. Bandung:Pustaka Setia. hlm 347
[4] Shiddiq. 2013. Abu ‘aliyah. Shiddiqsepanjang.blogspot.com. Diperoleh 27 Maret 2018
[5] Shiddiq. 2013. Abu ‘aliyah. Shiddiqsepanjang.blogspot.com. Diperoleh 27 Maret 2018

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Karya Tulis Ilmiah Tentang Kegiatan Kampus

Tugas Fiqh dan Ushul Fiqh