UTS STUDI PEMIKIRAN TOKOH TAFSIR


ULANGAN TENGAH SEMESTER (UTS)
STUDI PEMIKIRAN TOKOH TAFSIR

“IMAM AL-ZAMAKHSYARI”

Dosen Pengampu : Dr. H. Saifuddin Herlambang, M.A.

Disusun oleh kelompok 4:
Rifki Hadi Pratama         (11734033)
Wahyu Kurniawan         (11734047)

PROGRAM STUDI ILMU AL-QURAN DAN TAFSIR
FAKULTAS USHULUDDIN, ADAB DAN DAKWAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI PONTIANAK
TAHUN 2019

A.    Pendahuluan Penulisan
            Suatu kenyataan sejarah bahwa pemahaman dan penafsiran terhadap al-Qur’an memiliki kecenderungan dan corak yang berbeda-beda antara satu generasi dengan generasi berikutnya, antara satu kelompok atau aliran dengan kelompok atau aliran lainnya. Perbedaan-perbedaan tersebut disebabkan oleh berbagai faktor, antara lain situasi lngkungan kehidupan mufasir; kualitas dan keahlian mufasir; dan juga niat atau tujuan mufasir dalam menulis kitab tafsirnya itu.
            Tulisan ini akan menelaah tafsir, yaitu karya al-Zamarkhsyari yang berjudul al-Kasysyaf ‘an Haqa’iq al-Tanzil wa ‘Uyun al-Aqawil fi Wujuh al-Ta’wil. Pembahasan akan disusun secara deskripsi yang membicarakan tentang riwayat hidup al-Zamarkhsyari, sang pengarang kitab tersebut, dan tentang kitab yang ditulisnya, baik dari sisi metodologis maupun beberapa contoh penafsirannya.[1]

B.     Biografi Zamarkhsyari
            Sebagaimana tertulis di dalam Tafsir al-kasysyaf, nama lengkap al-Zamakhsyari adalah ‘Abd al-Qasim Mahmud ibn Muhammad ibn ‘Umar Zamakhsyari. Tetapi ada juga yang menulis Muhammad ibn ‘Umar Ibn Muhammad  al-Khawarizmi al- Zamakhsyari. Ia dilahirkan di Zamakhsyar, sebuah kota kecil di Khawarizmi pada hari rabu 27 Rajab 467 H. Atau 18 Maret 1075 M, dari sebuah keluarga miskin, tetapi alim dan taat beragama. Dilihat dari masa tersebut, ia lahir pada masa pemerintahan Sultan Jalal al-Din Abi al-Fath Maliksyah dengan wazirnya Nizam al-Mulk. Wajir ini terkenal sebagai orang yang aktif dalam pengembangan dan kegiatan keilmuan. Dia mempunyai “kelompok diskusi” yang terkenal maju dan selalu dihadiri para ilmuan dari berbagai kalangan.[2]
            Sejak usia menjelang remaja, Zamakhsyari sudah pergi merantau, meninggalkan desanya pergi menuntut ilmu pengetahuan ke Bukhara, yang pada masa itu menjadi pusat kegiatan keilmuan dan terkenal dengan para sastrawan. Baru beberapa tahun belajar, ia merasa terpanggil untuk pulangm sehubungan dengan dipenjarakannya ayahnya oleh pihak penguasa dan kemudia wafat. al-Zamakhsyari masih beruntung, bisa berjumpa dengan ulama terkemuka di khawarizm, yaitu Abu Mudar An-Nahwi (w. 508 H). Berkat bimbingan dan bantuan yang diberikan Abu Mudar, ia berhasil menjadi murid yang terbaik, yang menguasai bahasa dan sastra bahasa Arab, logika, filsafat dan ilmu kalam.
            Zamakhsyari juga dikenal sebagai yang berambisi di pemerintahan, akan tetapi beliau tidak berhasil, oleh sebab itu beliau merasa kecewa, melihat orang-orang yang dari segi ilmu dan akhlak lebih rendah darinya diberi jabatan yang tinggi oleh penguasa. Dan juga beliau tidak mendapat dukungan dari gurunya yang dihormatinya yaitu Abu Mudar. Hal inilah yang memaksanya untuk pindah khurasan dan memperoleh pujian baik dari kalangan pemerintahan Abu al-Fath ibn Husain al-Ardastani dan Ubaidillah Nizam al-Mulk. Setidaknya ada dua kemungkinan mengapa al-Zamakhsyari selalu gagal dalam mewujudkan keinginannya untuk duduk di pemerintahan. Pertama, karena ia merupakan tokoh Mu’tazilah yang sangat demonstratif dalam menyebarluaskan pahamnya, hal ini membawa dampak yang kurang disenangi oleh kalangan yang tidak berafiliasi pada Mu’tazilah. Kedua, mungkin karena kurang didukung kondisi jasmaninya karena al-Zamakhsyari memiliki cacat fisik, yaitu kehilangan satu kakinya.[3]
            Zamakhsyari tidak pernah menikah, ia membujang seumur hidupnya. Sebagian ulama mengatakan alasan ia membujang adalah karena terlalu sibuk menuntut ilmu dan terlalu fokus menulis karya-karyanya yang membutuhkan perhatian yang serius. Namun ada berbagai sumber menyebutkan, banyak faktor yang melatarbelakangi bahwa al-Zamakhsyari membujang, seperti kemiskinan, ketidakstabilan hidup dan cacat jasmani yang dideritanya.[4]

C.    Karya-Karya al-Zamakhsyari
            Diantara karya-karya al-Zamaksyari, antara lain:
1. Bidang tafsir: al-Kasyaf ‘an Haq’aiq al-Tanzil wa ‘Uyun al-Aqawil fi Wujub al-Ta’wil.
2. Bidang Hadis:  al-fa’iq fi Garib al-hadis.
3. Bidang Fiqh:  al-Ra’id fi al-Fara’id.
4. Bidang Ilmu Bumi: al-Jibal wa al-Amkinah.
5. Bidang Ahklak: Mutasyabih Asma’ al-Ruwat, al-Kalim al-Nabaug fi al-Maqamat fi al-Mawa’iz,Kitab fi Manaqib al-Imam Abu Hanifah.
6. Bidang Sastra:  Diwan Rasa’il, Diwan al-Tamsil, Tasaliyat al-Darir.
7. Bidang Ilmu Nahwu: al-namuzaj fi al-Nahw, Syarh al-kitab Sibawaih, Syarah al-Mufassal fi al-Nahw
8. Bidang Bahasa: Asas al-Balaqhah, Jawahir al-Lughah, al-Ajnas,Muqadimah al-Adab fi al-Lughah.

D.    Tafsir al-Kasysyaf
-Latar Belakang Penulisan
            Al-Zamaksyari menulis kitab tafsirnya ini bermula dari permintaan suatu kelompok yang menamnakan dirinya al-Fi’ah an-Najiyah al-adlyiah. Yang mana kelompok ini merupakan kelompok Mu’tazilah. Hal ini dije;askan pada bagian muqadimmah tafsir al-Kasysyaf disebutkan sebagai berikut: “mereka menginginkan kitab tafsir dan mereka saya supaya mengungkapkan hakikat makna al-Qur’an dan sebuah kisah yang terdapat di dalamnya, termasuk segi-segi penakwilannya.
            Didorong oleh Permintaan di atas, al-Zamaksyari menulis sebuah kitab tafsir, dan kepada mereka yang meminta didektekanlah mengenai fawatih al-suwar dan beberapa pembahasan tentang hakikat-hakikat dari surat al-Baqarah. Penafsiran Zamaksyari ini tampak mendapat sambutan hangat di berbagai negeri. Dalam perjalanan yang kedua ke Makkah, banyak tokoh yang dijumpainya menyatakan keinginannya untuk memperoleh karyanya itu. Bahkan setekah tiba di Makkah, ia diberi tahu bahwa pemimpin pemerintahan Makkah, Ibn Wahhas, bermaksud mengunjunginya ke Khawariz untuk mendapatkan karya tersebut. Semua itu menggungah semangat al-Zamaksyari untuk memulai menulis tafsirnya, meskipun dalam bentuk yang lebih ringkas dari yang didektekan sebelumnya.
            Berdasarkan desakan pengikut Mu’tazilah di mekkah dan atas dorongan al-Hasan Ali ibn Hamzah ibn Wahhas, serta kesadaran dirinya sendiri, akhirnya al-Zamaksyari berhasil menyelesaikan penulisan tafsirnya dalam waktu 30 bulan (2,5 tahun). Penulisan tafsirnya dimulai ketika ia berada di mekkah pada tahun 526 H. Dan selesai pada hari senin 23 Rabi’ul Akhir 528 H. Pada tahun 1968 tafsir al-Kasysyaf dicetak ulang pada percetakan Mustafa al-Babi al-Halabi, Mesir dala 4 jilid. [5]

E.     Metode Penafsiran
            Tafsir al-Kasysyaf disusun dengan tartib mushafi, yaitu berdasarkan urutan surah dan ayat dalam Mushaf Utsmani, yang terdiri dari 30 juz dan berisi 144 surat, dimulai dengan surat al-Fatihah dan diakhiri dengan surat an-Nas. Setiap surat diawali dengan basmallah, kecuali surat at-Taubah.
            Dalam menafsirkan al-Qur’an, al-Zamakhsyari lebih dahulu menuliskan ayat al-Qur’an yang akan ditafsirkan, kemudian memulai penafsirannya dengan mengemukakan pemikiran rasional yang didukung dengan dalil-dalil dari riwayat (hadis) atau ayat al-Qur’an, baik yang berhubungan dengan sabab an-nuzul suatu ayat atau dalam hal penafsiran ayat. Meskipun demikian, ia tidak terikat oleh riwayat dalam penafsirannya. Dengan kata lain, kalau ada riwayat yang mendukung penafsirannya ia akan mengambilnya, dan kalau tidak ada riwayat, ia akan tetap melakukan penafsirannya.
            Jika diteliti dengan cermat, ayat demi ayat, surat demi surat, maka nampaklah dengan jelas bahwa metode yang dipergunakan al-Zamaksyari dalam penafsirannya adalah metode tahlili, yaitu meneliti makna kata dan kalimat dengan cermat. Ia juga menyingkap aspek munasabah, yaitu hubungan antara satu ayat dengan ayat yang lainnya atau antara satu surat dengan surat lainnya, sesuai dengan tertib susunan surat dalam Mushaf Utsmani. Untuk membantu mengungkapkan makna ayat-ayat, ia juga menggunakan riwayat-riwayat dari para Sahabat dan Tabi’in dan kemudian mengambil kongklusi (kesimpulan) dengan pandangan atau pemikirannya sendiri. 
            Karena sebagian besar penafsirannya berorientasi pada rasio (ra’yu), maka tafsir al-Kasysyaf dapat dikategorikan pada tafsir bil al-ra’yi, meskipun pada beberapa penafsirannya menggunakan dalil naql (nash al-Qur’an dan Hadits).[6]

F.     Corak Penafsiran
            Mengenai corak tafsir al-Kasysyaf, dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Al-Zamaksyari terkenal sebagai seorang yang ahli dalam bahasa Arab, yang meliputi sastranya, balaghah-nya, nahwunya atau gramatikanya. Oleh karena itu tidak mengherankan kalau bidang-bidang keahliannya itu juga sangat mewarnai hasil penafsirannya. Al-Zahabi misalnya, menyatakan bahwa penafsiran al-Zamaksyari lebih banyak berorientasi pada aspek balaghah, untuk menyingkap keindahan dan rahasia yang terkandung dalam al-Qur’an, sehingga tafsir al-Kasysyaf sangat terkenal di negara-negara Islam di belahan Timur, karena di sana perhatian masyarakat pada kesusastraan sangat besar.
2. Al-Zamaksyari adalah seorang teolog (mutakalim) sekaligus seorang tokoh Mu’tazilah. Kedua predikat ini juga mewarnai penafsirannya yang tertuang dalam tafsir al-kasysyaf, sehingga tafsir tersebut juga memiliki corak teologis dan lebih khusus lagi corak Mu’tazilah.[7]

G.    Contoh Penafsirannya
            Contoh bentuk penafsiran bi al-ra’yi dengan metode tahlili dalam tafsir al-Kasysyaf  dapat dilihat pada penafsiran Q.S. Al-Baqarah (2): 115 berikut ini:

وَلِلّٰهِ الْمَشْرِقُ وَالْمَغْرِبُ فَاَيْنَمَا تُوَلُّوْا فَثَمَّ وَجْهُ اللّٰهِ ۗ اِنَّ اللّٰهَ وَاسِعٌ عَلِيْمٌ

Artinya: “Dan milik Allah timur dan barat. Kemanapun kamu menghadap di sanalah wajah Allah. Sungguh, Allah Mahaluas, Maha Mengetahui”.

            Kata وَلِلّٰهِ الْمَشْرِقُ وَالْمَغْرِبُ menurut al-Zamaksyari maksudnya adalah timur dan barat, dan seluruh penjuru bumi, semuanya kepunyaan Allah SWT. Dia yang memiliki dan menguasai seluruh alam. فَاَيْنَمَا تُوَلُّوْا maksudnya kearah manapun manusia menghadap Allah SWT, hendaknya menghadap qiblat sesuai dengan firman Allah SWT. Dalam Q.S. al-Baqarah (2): 144 yang berbunyi: 
فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ ۗ وَحَيْثُ مَا كُنْتُمْ فَوَلُّوْا وُجُوْهَكُمْ شَطْرَهٗ ۗ
“palingkanlah mukamu kearah masjidil haram, dan di mana saja kamu berada, maka palingkanlah mukamu kearahnya.”
             Kata فَثَمَّ وَجْهُ اللّٰهِ menurut al-Zamaksyari maksudnya ditempat (Masjid al-Haram) itu ada Allah, yaitu tempat yang disenanginya dan manusia diperintahkan untuk menghadap Allah pada tempat tersebut. Maksud ayat di atas adalah Masjid al-Haram dan Bait al-Maqdis, akan tetapi ia ragu akan arah yang tepat untuk menghadap kearah tersebut, maka Allah memberikan kemudahan kepadanya untuk menghadap kearah manapun dalam Shalat, dan ditempat manapun sehingga ia tidak terikat oleh lokasi tertentu. 
              Dari latar belakang turunnya ayat ini menurut ibn Umar berkenaan dengan sholat musafir di atas kendaraan, ia menghadap kearah mana kendaraannya menghadap. Tetapi menurut ‘Ata, ayat ini turun ketika tidak diketahui arah kiblat sholat oleh suatu kaum, lalu mereka sholat kearah yang berbeda-beda (sesuai keyakinan masing-masing). Setelah pagi hari ternyata mereka salah menghadap kiblat, kemudian mereka menyampaikan peristiwa tersebut kepada nabi Muhammad SAW. (lalu turunlah ayat ini). Ada juga yang berpendapat bahwa kebolehan menghadap kearah mana saja itu adalah dalam berdoa, bukan dalam sholat. 
               Dari contoh penafsiran di atas tampaklah bahwa al-Zamaksyari memulai penafsirannya dengan mengemukakan riwayat atau pendapat ulama. Jadi, al-Zamaksyari disamping menggunakan akalnya ia juga menggunakan riwayat (naql) sebagai penguat atas penafsirannya.[8]
                Selanjutnya, al-Zamaksyari sebagai tokoh Mu’tazilah yang benar-benar menguasai bahasa Arab dan balaghah, sering menggunakan keahliannya itu untuk membela alirannya itu. Jika menemukan, dalam al-Qur’an, suatu lafadz yang kata lahirnya (tampaknya) tidak sesuai dengan pendapat Mu’tazilah, ia berusaha dengan segenap kemampuannya untuk membatalkan makna lahir (yang tampak) dan menetapkan makna lainnya yang terdapat dalam bahasa. Contohnya ketika ia menafsirkan Q.S. Al-Qiyamah (75): 22-23)

وُجُوْهٌ يَّوْمَىِٕذٍ نَّاضِرَةٌۙ اِلٰى رَبِّهَا نَاظِرَةٌ ۚ 

Artinya: “Wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada hari itu berseri-seri. Kepada Tuhan-Nya lah mereka melihat.”
                        Al-Zamaksyari mengesampingkan makna lahir kata Nadzirah (melihat), sebab menurut Mu’tazilah Allah SWT tidak dapat dilihat. Oleh karena itu, kata Nadzirah diartikan dengan al-raja (menunggu, mengharapkan). [9]

H.    Penilaian Para Ulama Mengenai Tafsir Al-Kasysyaf
            Beberapa penilaian para ulama mengenai tafsir al-Kasysyaf  karya al-Zamakhsyari: 
1.      Imam Busyikual
Setelah melakukan penelitian terhadap dua tafsir, yaitu tafsir Ibn Atiyyah dan tafsir al-Zamaksyari, Busyikual berkesimpulan bahwa: Tafsir Ibn Atiyyah banyak mengambil sumber dari naql, lebih luas cakupannya dan lebih bersih. Sedangkan tafsir al-Zamaksyari lebih ringkas dan mendalam, hanya saja Zamaksyari sering menggunakan kata-kata yang sulit dipahami dan banyak menggunakan syair, sehingga mempersulit pembaca dalam memahaminya.

2.      Haidar al-Harawi 
Haidar al-Harawi menilai bahwa tafsir al-kasysyaf merupakan kitab tafsir yang sangat tinggi nilainya. Menurut Haidar, tidak ada satupun tafsir sesudahnya yang dapat menandingi baik dalam keindahan maupun kedalamannya.

3.      Ibn Khaldun 
Ketika membahas petingnya lughah, I’rab dan balaghah dalam memahami al-Qur’an, Ibn Khaldun mengatakan bahwa diantara tafsir yang paling baik dan paling mampu mengungkapkan makna al-Qur’an dengan pendekatan bahasa dan balaghah, adalah tafsir al kasysyaf. Hanya saja penyusunannya bermazhab Mu’tazilah dalam masalah aqidah.

4.      Mustafa al-Sawi al-Juwaini 
Al-Sawi berpendapat bahwa al-Zamaksyari adalah seorang ulama Mu’tazilah yang sangat fanatik dalam membela paham Mu’tazilah, sehingga berpengaruh pada penafsirannya. Oleh karena itu tafsirannya seakan-akan merupakan pembelaan terhadap mazhab Mu’tazilah.

5.      Ignaz Goldziher
Dalam bukunya Mazahib Tafsir al-Islami, goldziher mengatkan bahwa tafsir al-Kasysyaf  sangat baik, hanya saja pembelaannya terhadap Mu’tazilah sangat berlebihan.

6.      Muhammad Husain al-Zahabi 
Al-Zahabi berpendapat  bahwa tafsir al-Kasysyaf  adalah kitab tafsir yang paling lengkap dalam menyingkap balaghah al-Qur’an.[10]

I.       Pendapat Penulis Mengenai Tafsir Al-Kasysyaf
            Dari beberapa penilaian tentang tafsir al-Kasysyaf di atas, maka penulis dapat mengambil pendapat mengenai Tafsir Al-Kasysyaf sehingga bisa digunakan dalam bentuk penelitian, yaitu:
-Tafsir al-Kasysyaf adalah kitab tafsir yang sangat baik karena berhasil menyingkap rahasia kemukjizatan al-Qur’an dengan pendekatan lughah. 
-Tafsir al-Kasysyaf sebaiknya tidak dijadikan rujukan utama karena penyusunannya sangat fanatik dalam membela Mu’tazilah. 
-Kalaupun kita ingin menambahkannya sebagai rujukan, maka hal-hal yang baik untuk diambil adalah yang berkaitan dengan pengungkapan kemukjizatan al-Qur’an saja. Tetapi dalam bagian lainnya, sebaiknya tidak digunakan sebagai rujukan.

J.      Kesimpulan 
·         Al-Zamaksyari (467-538 H), pengarang kitab tafsir al-Kasysyaf, adalah seorang mufassir yang ahli bahasa dan sastra Arab (Gramatika dan balaghah), sekaligus seorang ulama Mu’tazilah.
·         Tafsir al-Kasysyaf, terdiri dari 4 jilid, adalah sebuah kitab tafsir bi al-ra’yi dengan metode tahlili, bercorak bahasa dan sastra, corak teologis, dan lebih khusus lagi bercorak Mu’tazilah (laun al-I’tizah). 
·         Beberapa ulama yang menilai mengenai tafsir al-Kasysyaf  karya al-Zamakasyari antara lain Imam Busyikual, Haidar al-Harawi, Ibn Khaldun, Mustafa al-Sawi al-Juwaini, Ignaz Goldziher, Muhammad Husain al-Zahabi.



Daftar Pustaka

Muhammad Yusuf dkk. 2004. Studi Kitab Tafsir Menyuarakan Teks Yang Bisu. Yogyakarta: TH Press.

Saifuddin Herlambang. 2018. Studi Tokoh Tafsir Dari Klasik Hingga Kontemporer. Pontianak: IAIN Pontianak Press

Muhammad Sofyan. 2015. Tafsir Wal Mufassirun. Medan: Perdana Publising.


[1] Muhammad Yusuf dkk, Studi Kitab Tafsir Menyuarakan Teks Yang Bisu, (Yogyakarta: TH Press, 2004), hlm. 43.
[2] Muhammad Sofyan. Tafsir Wal Mufassirun, (Medan: Perdana Publising, 2015), hlm. 29.
[3] Muhammad Yusuf dkk, Studi Kitab Tafsir Menyuarakan Teks Yang Bisu, (Yogyakarta: TH Press, 2004), hlm. 44-46.
[4] Saifuddin Herlambang, Studi Tokoh Tafsir Dari Klasik Hingga Kontemporer, (Pontianak: IAIN Pontianak Press, 2018), hlm. 29.
[5] Muhammad Yusuf dkk, Studi Kitab Tafsir Menyuarakan Teks Yang Bisu, (Yogyakarta: TH Press, 2004), hlm. 48-49

[6] Muhammad Sofyan. Tafsir Wal Mufassirun, (Medan: Perdana Publising, 2015), hlm. 32-33.
[7] Muhammad Yusuf dkk, Studi Kitab Tafsir Menyuarakan Teks Yang Bisu, (Yogyakarta: TH Press, 2004), hlm. 54-55
[8] Muhammad Yusuf dkk, Studi Kitab Tafsir Menyuarakan Teks Yang Bisu, (Yogyakarta: TH Press, 2004), hlm 53-54
[9] Muhammad Yusuf dkk, Studi Kitab Tafsir Menyuarakan Teks Yang Bisu, (Yogyakarta: TH Press, 2004), hlm 55-56
[10] Muhammad Yusuf dkk, Studi Kitab Tafsir Menyuarakan Teks Yang Bisu, (Yogyakarta: TH Press, 2004), hlm 58-60

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Biografi Abul Aliyah Ar-Riyahi

Karya Tulis Ilmiah Tentang Kegiatan Kampus

Tugas Fiqh dan Ushul Fiqh